Minggu, 30 Desember 2012

Makalah Ekonomi

Contoh Makalah Ekonomi


KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia dan nikmat bagi umat-Nya. Alhamdulilaah Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewargaan dengan Judul “KORUPSI MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA”, karena terbatasnya ilmu yang dimiliki oleh penulis maka Makalah ini jauh dari sempurna untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyusunan Makalah ini. Semoga bantuan dan bimbingan yang telh diberikan kepada kami mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin
Akhirnya penulis berharap semoga Makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

................,.........................    

Penulis


















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................          i
DAFTAR ISI...........................................................................................          ii

BAB I PENDAHULUAN
A      Latar Belakang............................................................................          1
B      Permasalahan .............................................................................          1
BAB II PEMBAHASAN
  1. Makna Tindak Pidana Korupsi...................................................          2
  2. Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi........................................          3
  3. Korupsi dan Desentralisasi.........................................................          5
  4. Memberantas Korupsi Demi Pembangunan Ekonomi...............          7
BAB III KESIMPULAN..........................................................................          9
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 10




















BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Peraturan Perundang – Undangan merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan senabagai Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Tebah pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terdapat gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi Akhir-akhir ini.
Para pejabat Negara menjadikan kasus korupsi dijadikan senjata ampuh dalam pidatonya, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun  tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia.
Lemahnya hukum di Indonesia dijadikan senjata ampuh para koruptor untuk menghindar dari tuntutan. Kasus korupsi mantan Presiden Suharto, contoh kasus korupsi yang yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Padahal penyelesaian kasus-kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu mentimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.

B.    Permasalahan
1.     Bagaimana korupsi mempengaruhi pembangunan ekonomi di Indonesia?
2.     Strategi apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek korupsi tersebut?
3.     Bagaimana Mutiplier effec bagu efesiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di Indonesia?






BAB II
PEMBAHASAN


A.    Makna Tindak Pidana Korupsi
Jeremy Pope dalam bukunya Confronting: The Elemen of National Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatianan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, dictator yang meletakakan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam system social politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah berarti dalam system social politiknya teleransi bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan pelanggran hak asasi manusia, lanjut Pope.
Menurut Dleter Frish, mantan Direktur Jendral Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alas an keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi kepentingan public, korupsi selalu menyebabkan situasi social ekonomi tak pasti (uncertenly). Ketidakpastian ini tidak asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Sector swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi, Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tidak pidana korupsi sebagaimana Maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat Ekonomi Pancasila, dalamdalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barang kali beralasan karena praktek korusi korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingakan dengan penggunaan kata korupsi secara gambling dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.

B.    Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi
Korupsi merupakan permasalan mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dengan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media masa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi.
Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “anactment policy”, merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominant di Negara berkembang, pengusaha tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif. Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominant terjadi di Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan perundang-undangan.
Fakta yang terjadi menunjukan bahwa Negara-negara industri tidak dapat lagi menggulur Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui korusilah system ekonomi social rusak, baik Negara maju dan berkembang. Bahkan dalam buku “The Confession of Economic Hit Man” John Pakin mempertegas peran besar Negara adidaya seperti Amerika serikat melalui lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan Multinasional terperangkap dalam hutang luar Negeri yang luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh pengusaha Indonesia saat ini. Demokrasi dan metamorfosis Korupsi pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan Icon orde baru, Soeharto, membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebutperubahan tersebut. Namun sayangnya reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Budle gum” yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrassy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi rakyat. Namun, apa mau ditanya rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulu para pelanjut cita-cita dan karakter orde baru. Dulu korupsi tertralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi dan desentralisasi daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan kekuangan daerah, korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signefikan. Disharmonisasi politik ekonomi social, grafik pertumbuhan jumlah rakyat terus naik karena korupsi.
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia praktek korupsi makin mudah ditemukan diberbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial., kepentingan pribadi menjadi pilihan utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi prilaku sosial sebagaian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro prlayanan public justru digunakan oleh pejabat public untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan public, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Dan kedua alasan ini menyeruak di Indonesia, justru memfasilitasi korupsi. Mubaryanto menjelaskan, kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan. Korupsi harus dianggap menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislative di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat, jika sejak krisis multidimensi yang berasal dari krimon 1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka ini berarti harus ada keadilan politik.
Keadilan ekonomi dan keadilan social sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak  kembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah aturan main berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga Negara. Kita menghimbau para filosof dan ilmuan-ilmuan social, untuk bekerja keras dan berpikir secara empiric indktif yaitu selalu menggunakan data-data empiric dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saj, lebih-lebih dengan selalu mengacu pada teori-teori berat. Dengan berpikir empiric kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan. Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukan bahwa skandal ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy di Negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan asalan untuk mengendalikan sumber dya alam kepada perusahaan multinasional dan negar adi daya yang Didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundik-pundi harta bagi kepentingan politik dan pribadi maupun Kelompoknya.

C.    Korupsi dan Desentralisasi
Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok Setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia banyak pengamat ekonomi merupakan kasus Pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonomi dan pengamat politik dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislative daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan social politik ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi. Namun juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena munculnya penguatan-penguatan yang lahir melalui Perda (pendapan daerah) yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah, inpestor menahan diri untuk masuk daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan akibat itu semua kemiskinan meningkat karena Lapangan pekerjaan menyempip dan pembangunan ekonomi pembangunan di daerah terhambat boro-boro memacu PAD. Terdapat bobot yang menentukan daya saing infestasi daerah. Pertama, factor kelembagaan. Kedua, factor inpraskruktur, ketiga, fakor social politik. Keempat, factor ekonomi daerah. Kelima, factor ketenaga kerjaan hasil penelitian komite pemantauan Pelaksanaan otonomi daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan dalam hal ini pemerintah daerah sebagai factor penghamabat terbesar bagi inpestasi hal ini berarti birokrasi menjadi penghambat utama bagi infestasi yang menyebabkan munculnya Haighcost economy yang beratri praktek korupsi yang melalui pungutan-pungutan liar yang berarati liar dan dana pelican marah pada awal Pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah terserbut. Dan jelas ini emnhambat tumbuhnya kesempatan Kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah karena korupsi di birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama tersebut berubah. Kondisi social politik dominant menjadi hambatan bagi tumbuhnya di daerah.
Pada 2005 banyak daerah banyak melalukan pemilihan Kepala daerah (Pilkada secara langsung yang menyebabkan instabilitasi politik di daerah yang membuat enggan para inspector untuk menanam modalnya di daerah. Dalam situasi politik ini, inspector local memilih modalnya kepada ekspestasi politik dengan membantu pendanaan kampanye calon-calon Kepala daerah tertentu dengan harapan akan memperoleh kemenagan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus pembangunan ekonomi. Justru  hanya akan meperbesar pengeluaran pemerintah (Goverenment expenditure) karena para inspector hanya mengerjakan prokyek-proyek pemerintah tanpa menciptakan aut put baru di luar pengeluaran pemerintah (biaya aparatur Negara) bahkan akan berdampak pada inspestasi pengeluaran pemerintah karena untuk meningkatkan PAD-nya mau-tidak mau pemerintah harus mengenjot pemdapatan dari pajak dan retrevusi melalui berbagai Perda (peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi. Titik tolak pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi yang menjadi penyebab munculnya haigh cost economy yang melahirkan ekonomi tersebut akan di dukung oleh birokrasi yang  njelimet.
Seharusnya titik tolak daerah adalah pembangunan ekonomi daerah dengan menarik infestasi daerah yang sebesar-besarnya dengan merampingkan birokrasi dan memperpendek jalur serta jangka Waktu pengurusan Dokumen usaha serta membersihkan birokrasi dari prektek korupsi. Peneingkatan PAD (pendapatan asli daerah), pengurangan jumlah pengurangan jumlah penganguran dan kemiskinan pasti mengikuti.

D.    Memberantas Korupsi Demi Pembangunan Ekonomi
Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghamabt pengembangan system pemerintahan demokratis. Korusi Memupuk tradisi perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau Kelompok, yang mengesampingkan kepentingan public. Dengan begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah menikmati pembangunan ekonomi dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan melalui konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan system tanggung gugat dalam tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas dengan batas-batas undang-undang, yang juga harus mendukung terciptanya tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi. Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan merupakan bagian dari tata pemerintahan, yudikatip tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun memiliki ruang kebebasan menegakan kedaulkatan hukum dan peraturan dengan Demikian akan terbentuk lingkaran perbaikan yang memungkin seluruh pihak untuk melalukan pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun, konsep ini sangat mudah dituliskan atau dikatakan dari pada dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktui yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar. Bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugas yang efektif dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai prilaku beresiko yang sangat tinggi dengan hati yang sedikit.
Kedua, hal yang paling sulit dan punda mental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan sekedar kemauan para politis dan orang-orang yang berkecimbung dalam ranah politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang termanisfestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sasial masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai elemen atau sastra social. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai tanggung jawabuntuk mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik.
Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para politis dan pejabat Negara tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan social politik dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara social politik akan memilih pimpinan (politis) dan pejabat Negara yang memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang cerdas secara social politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa dapat di awasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi. Ketika kontrusi integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasar social politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial.


BAB III
KESIMPULAN

            Merangfkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksankan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi dan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama wabah yang tidak pernah tepat Sasaran ibarat “yang sakit Kepala, kok yang di obati tangan”. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.



















DAFTAR PUSTAKA


Harian Kompas, 13 Juni 2006,

Gramedia Hikmahanto Juwana, Paper 2006, “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia” MPKP, FE,UI.

Mobaryanto, artikel, “Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004.
Jeremy Pope, “Confronting Corruption: The Element Of National Integrity System”. Transparency International, 2000.

Robet A Simanjuntak, “Implementasi Desentralisasi Fiskal: Problem, Prospek, dan Kebijakan”.  LPEM UI, 2003.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah            .

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.


Senin, 24 Desember 2012

Makalah Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar

Makalah Berbahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar
BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa adalah kunci pokok bagi kehidupan manusia di atas dunia ini, karena dengan bahasa orang bisa berinteraksi dengan sesamanya dan bahasa merupakan sumber daya bagi kehidupan bermasyarakat.
Adapun bahasa dapat digunakan apabila saling memahami atau saling mengerti erat hubungannya dengan penggunaan sumber daya bahasa yang kita miliki. Kita dapat memahami maksud dan tujuan orang lain berbahasa/berbicara apabila kita mendengarkan dengan baik apa yang diakatakan. Untuk itu keseragaman berbahasa sangatlah penting, supaya komunikasi berjalan lancar.
Maka daripada itu bangsa Indonesia pada tahun 1945 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan sampai sekarang pemakaian bahasa Indonesia makin meluas dan menyangkut berbagai bidang kehidupan.
Kita sebagai generasi muda, marilah kita pelihara bahasa Indonesia ini, memgingat akan arti pentingya bahasa untuk mengarungi kehidupan masa globalisasi, yang menuntuk akan kecerdasan berbahasa, berbicara, keterampilan menggunakan bahasa dan memegang teguh bahasa Indonesia, demi memajukan bangsa ini, supaya bangasa kita tidak dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Maka dari itu disini penulis akan mencoba menguraikan tentang “Berbahasa Yang Baik Dan Benar”


BAB II
PEMBAHASAN
BAGIAN I
1. Tata bunyi (fonologi)
Fonologi pada umumnya dibagi atas dua bagian yang meliputi :
- Fonetik
Pengertian Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia
- Fonemik
Adapun Fonemik itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai pembeda arti.
Kalau dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-bunyi yang dapat mempunyi fungsi untuk membedakan arti.
2. Tata bahasa (kalimat)
Masalah definisi atau batasan kalimat tidak perlu dipersoalkan karena sudah terlalu banyak definisi kalimat yang telah dibicarakan oleh ahli bahasa. Yang lebih penting untuk diperhatikan ialah apakah kalimat-kalimat yang klita hasilkan dapat memenuhi syarat sebagai kalimat yang benar (gramatikal). Selain itu, apakah kita dapat mengenali kalimat-kalimat gramatikal yang dihasilkan orang lain. Dengan kata lain, kita dituntut untuk memiliki wawasan bahasa Indonesia dengan baik agar kita dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang gramatikal dalam komunikasi baik lisan maupun tulis, dan kita dapat mengenali kalimat-kalimat yang dihasilkan orang lain apakah gramatikal atau tidak.
Suatu pernyataan merupakan kalimat jika di dalam pernyataan itu terdapat predikat dan subjek. Jika dituliskan, kalimat diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya. Pernyataan tersebut adalah pengertian kalimat dilihat dari segi kalengkapan gramatikal kalimat ataupun makna untuk kalimat yang dapat mandiri, kalimat yang tidak terikat pada unsure lain dalam pemakaian bahasa. Dalam kenyataan pemakaian bahasa sehari-hari terutama ragam lisan terdapat tuturan yang hanya terdiri dari atas unsur subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangan saja.
3. Kosa kata
Dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kita dituntut untuk memilih dan menggunakan kosa kata bahasa yang benar. Kita harus bisa membedakan antara ragam bahasa baku dan ragam bahasa tidak baku, baik tulis maupun lisan.
Ragam bahasa dipengaruhi oleh sikap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembaca (jika dituliskan). Sikap itu antara lain resmi, akrab, dingin, dan santai. Perbedaan-perbedaan itu tampak dalam pilihan kata dan penerapan kaidah tata bahasa. Sering pula raga mini disebut gaya. Pada dasarnya setiap penutur bahasa mempunyai kemampuan memakai bermacam ragam bahasa itu. Namun, keterampilan menggunakan bermacam ragam bahasa itu bukan merupakan warisan melainkan diperoleh melalui proses belajar, baik melalui pelatihan maupun pengalaman. Keterbatasan penguasaan ragam/gaya menimbulkan kesan bahwa penutur itu kurang luas pergaulannya.
Jika terdapat jarak antara penutur dengan kawan bicara (jika lisan) atau penulis dengan pembaca (jika ditulis), akan digunakan ragam bahasa resmi atau apa yang dikenal bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara, akan makin resmi dan berarti makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
4. Ejaan
Dalam bahasa tulis kita menemukan adanya bermacam-macam tanda yang digunakan untuk membedakan arti sekaligus sebagai pelukisan atas bahasa lisan. Segala macam tanda tersebut untuk menggambarkan perhentian antara , perhentian akhir, tekanan, tanda Tanya dan lain-lain. Tanda-tanda tersebut dinamakan tanda baca.
Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-tanda baca dan sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana memotong-motong suku kata, bagaimana menggabungkan kata-kata, baik dengan imbuhan-imbuhan maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu harus berguna terutama bagaimana kita harus memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak memungkinkan kita menuliskan seluruh kata di sana. Kecuali itu, penggunaan huruf kapital juga merupakan unsur penting yang harus diperhatikan dalam penulisan dengan ejaan yang tepat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambing-lambang bunyi-ujaran dan bagaimana inter-relasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa disebut ejaan.
5. Makna
Pemakaian bahasa yang benar bertalian dengan ketepatan menggunakan kata yang sesuai dengan tuntutan makna. Misalnya, dalam bahasa ilmu tidak tepat digunakan kata-kata yang bermakna konotatif (kata kiasan tidak tepat digunakan dalam ragam bahasa ilmu). Jadi, pemakaian bahasa yang benar adalah pemakaian bahasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa.
Kriteria pemakaian bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahsa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan ini bertalian dengan topik apa yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau orang yang akan membaca (kalau tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang kita gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita.
BAGIAN II
1. Bahasa Teratur dan Berpikir Teratur
Seseorang akan dianggap berpikir teratur jika dalam kesehariannya ia biasa berbahasa teratur. Hal itu tercermin dari kemampuannya menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Beberapa pertanyaan berikut ini dapat membantu kita menilai tertib tidaknya bahasa yang kita gunakan, misalnya, dalam tulisan kita.
Apakah setiap kata yang kita gunakan sudah benar-benar kita pahami maknanya? Apakah kata yang mubazir, yang tidak perlu, tidak kita gunakan?
Apakah hubungan antarkata dalam kalimat dan antarkalimat dalam paragraf tidak menimbulkan tafsiran ganda (ambiguitas)? Apakah hubungan antarkata dalam kalimat dan antarkalimat dalam paragraf mengungkapkan hubungan antargagasan yang konsisten, yang tidak saling bertentangan? Apakah kata sudah kita tulis dengan tepat dan tanda baca kita gunakan dengan tepat pula? Jika kita jawab pertanyaan itu dengan ya, kita telah menggunakan bahasa secara tertib.
Berikut ini contoh paragraf yang telah menggunakan bahasa secara lebih tertib.
Pandangan penduduk asli terhadap pendatang selalu bergantung kepada apa yang menjadi tujuan kedatangan pendatang dan bagaimana kemampuan serta perilaku pendatang itu. Bila pendatang itu datang dengan tujuan baik, orang yang pintar, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan penduduk asli, dan berkelakuan baik, maka masyarakat penduduk asli akan menghormati dan mau bekerja dengannya.
2. Keracunan Berbahasa
Kesukaran itu antara lain disebabkan oleh pemakaian susunan kalimat yang tidak teratur dan penyampaian pikiran atau gagasan yang tidak teratur pula. Perhatikan kutipan berikut.
Di sekolah putra dan putri bangsa dididik. Mereka agar memiliki pengetahuan dan keterampilan. Mereka agar berbudi luhur. Mereka agar sehat jasmani dan rohaninya.
Kutipan itu menggunakan sebuah kalimat yang dipenggal menjadi empat bagian kalimat. Bagian pertama merupakan sebuah kalimat. Bagian kedua, ketiga, dan keempat masing-masing merupakan suku kalimat, bukan merupakan sebuah kalimat.
3. Kesejajaran Dalam Kalimat
Ketertiban bahasa yang digunakan seseorang, misalnya dalam suatu karangan terlihat dalam kepaduan susunan kalimat yang digunakannya. Unsur-unsur kalimat yang digunakannya saling berhubungan secara padu dan dapat mengungkapkan pikiran atau gagasan yang padu pula. Kepaduan susunan kalimat dapat tercipta apabila kalimat disusun antara lain berdasarkan asas kesejajaran bentuk bahasa.
Kesejajaran dalam kalimat berkaitan dengan kesejajaran beberapa bentuk bahasa yang biasanya dihubungkan dengan kata penghubung seperti dan, atau, bahwa, karena, dan yang dalam sebuah kalimat.
4. Kesalahan ejaan
Ejaan turut menentukan kebakuan dan ketidakbakuan kalimat. Karena ejaannya benar, sebuah kalimat dapat menjadi baku dank arena ejaannya salah, sebuah kalimat dapat menjadi tidak baku. Kesalahan ejaan biasanya terjadi pada: penggunaan tanda koma yang salah, dan kesalahan penulisan sapaan.
5. Kesalahan Struktur Kalimat
Bentuk-bentuk yang strukturnya sudah benar merupakan kalimat baku, sedangkan bentuk-bentuk yang strukturnya masih salah merupakan kalimat tidak baku.
BAGIAN III
Ragam Bahasa
Berdasarkan media yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam bahasa dapat dibedakan atas ragam bahasa lisan yaitu bahasa yang dihasilkan dengan menggunakan alat ucap (organ of speec) dengan fonem sebagai unsur dasar, dan ragam bahasa tulis yaitu bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Berdasarkan pokok persoalan yang dibicarakan, ragam bahasa dapat dibedakan atas bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya, ragam bahasa ilmu, ragam bahasa hukum, ragam bahasa niaga, dan ragam bahasa sastra.
Dilihat dari segi penuturnya, ragam bahasa dapat dibedakan sebagai berikut:
A. Ragam Daerah/ Dialek
Sebagaimana kita ketahui, bahasa Indonesia tersebar luas keseluruh Nusantara. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia itu menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang dipakai di suatu daerah berbeda dari bahasa Indonesia yang dipakai di daerah lain. Misalnya, bahasa Indonesia yang dipakai oleh orang yang tinggal di Denpasar berbeda dari bahasa Indonesia yang dipakai di Jakarta.
B. Ragam Bahasa Terpelajar
Tingkat pendidikan penutur bahasa Indonesia juga mewarnai pemakaian bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan tampak jelas perbedaannya dengan bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya, pidio, pilem, komplek, pajar, dan pitamin.
C. Ragam Bahasa Resmi dan Ragam Bahasa tak Resmi
Ragam bahasa dipengaruhi pula oleh sikap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembaca (jika dituliskan). Sikap itu antara lain resmi, akrab, dingin, dan santai. Demikian juga sebaliknya, kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya atau pimpinannya, atau bahasa perintah atasan kepada bawahan.
Kesalahan Diksi
Kesalahan diksi ini meliputi kesalahan kalimat yang disebabkan oleh kesalahan pemakaian kata. Berikut dikemukakan beberapa diksi yang belum dibicarakan pada bab sebelumnya.
1) Pemakaian Kata Tidak Tepat
Ada beberapa kata yang digunakan secara tidak tepat. Kata dari atau daripada sering digunakan secara tidak tepat, seperti yang terdapat dalam contoh berikut.
Hasil daripada penjualan saham akan digunakan untuk memperluas Bidang Usaha.
Kalimat diatas itu seharusnya tanpa kata daripada karena kata daripada digunakan untuk membandingkan dua hal. Misalnya, tulisan itu lebih baik daripada tulisan saya. Di dalam kalimat berikut juga terdapat pemakaian kata secara tidak benar.
2) Pemakaian Kata Berpasangan
Ada sejumlah kata yang pemakaiannya berpasangan (disebut juga konjungsi korelatifa), seperti, baik … maupun …, bukan … melainkan …, tidak … tetapi …, antara … dan …. Di dalam contoh-contoh berikut dikemukakan pemakaian kata berpasangan secara tidak tepat.
Pemakaian kata berpasangan tidak tepat
Baik pedagang ataupun konsumen masih menunggu kepastian harga sehingga tidak terjadi transaksi jual beli.
Perbaikan
Baik pedagang maupun konsumen masih menunggu kepastian harga sehingga tidak terjadi transaksi jual beli.
3) Pemakaian Dua Kata
Didalam kenyataan terdapat pemakaian dua kata yang makna dan fungsi kurang lebih sama. Kata-kata yang sering dipakai secara serentak itu, bahkan pada posisi yang sama, antara lain ialah adalah merupakan, agar supaya, demi untuk, seperti misalnya, atau daftar nama-nama.
Pemakaian dua kata yang tidak benar.
Peningkatan mutu pemakaian bahasa Indonesia adalah merupakan kewajiban kita semua.
Perbaikan
Peningkatan mutu pemakaian bahasa Indonesia adalah tugas kita bersama.
4) Kesalahan Ejaan
Di dalam kenyataan pemakaian bahasa masih banyak kesalahan bahasa yang disebabkan oleh kesalahan penerapan ejaan, terutama tanda baca. Penyebabnya antara lain, ialah adanya perbedaan konsepsi pengertian tanda baca di dalam ejaan sebelumnya dengan ejaan yang berlaku sekarang. Di dalam ejaan sebelumnya tanda baca diartikan sebagai tanda bagaimana seharusnya membaca tulisan. Misalnya, tanda koma merupakan tempat perhentian ssebentar (jeda) dan tanda tanya menandakan inotasi naik. Hal seperti itu sekarang tidak seluruhnya dapat dipertahankan. Misalnya, antara subjek predikat terdapat jeda dalam membaca, tetapi tidak dipakai tanda koma jika bukan yang mengapit keterangan tambahan atau keterangan aposisi.
Contoh:
Engkau sudah lulus?
Dia tidak ikut ujian?
Bandingkan dengan kalimat tanya yang berikut.
Contoh:
Apakah engkau sudah lulus?
Siapa yang tidak ikut ujian?
Berikut dikemukakan beberapa kesalahan bahasa yang disebabkan oleh kesalahan pemakaian tanda baca, khususnya tanda baca koma.
a. Tanda Koma di antara Subjek dan Predikat
Ada kecenderungan penulis menggunakan tanda koma di antara subjek dan predikat kalimat jika nomina subjek mempunyai keterangan yang panjang. Pemakaian tanda koma itu tidak benar karena subjek tidak dipisahkan oleh tanda koma dari predikat kecuali pasangan tanda koma yang mengapit keterangan tambahan atau aposisi.
Contoh :
Mahasiswa yang akan mengikuti ujian negara, diharap mendaftarkan diri di sekretariat.
Tanah bekas hak guna usaha yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, akan ditetapkan kemudian pengaturannya.
b. Tanda Koma di antara Keterangan dan Subjek
Selain subjek, keterangan kalimat yang panjang dan yang menempati posisi awal juga sering dipisahkan oleh tanda koma dari subjek kalimat. Padahal, meskipun panjang, keterangan itu bukan anak kalimat. Oleh karena itu pemakaian tanda koma seperti itu juga tidak benar, seperti terlihat dalam contoh berikut.
§ Dalam suatu pernyataan singkat di kantornya, pengusaha itu membantah bekerjasama dengan penyelundup.
§ Untuk keperluan belanja sehari-hari, mereka masih bergantung pada orang tuanya.


BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas maka kita bisa menarik kesimpulan/penulis mencoba memberikan kesimpulan berdasarkan data-data dan fakta dilapangan menunjukkan masih banyak orang-orang tidak memahami pemakain bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar. Jadi dilhat dari fungsinya bahasa merupakan jantung dari kehidupan ini karena tanpa bahasa kita tidak akan bisa berinteraksi sesama yang lain.
Maka dari itu kita sebagai warga negara Indonesia harus bisa menjaga keaslian berbahasa Indonesia yang baik dan benar, karena dipandangnya suatu bangsa itu tidak lepas dari bagaimana kita menggunakan basaha yang dapat dipahami atau mudah dimengerti oleh bangsa lain. Mudah-mudahan urain singkat diatas dapat memberi sumbang sih bagi pembaca, saran dan kritik yang sifatnya membangun selalu penulis harapkan, demi kesempurnaan karya tulis kami ini yang berjudul ”Berbahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar”. Dan atas bimbingan dan saran-saran Ibu Guru, saya ucapkan terimakasih.




DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. 1983. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: Gramedia.
Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar. Jakarta: Pustaka Jaya.
Keraf, Gorys, Dr. 1991. Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas. Flores: Nusa Indah.
Sabariyanto, Dirgo.1999. Kebakuan dan Ketidakbakuan Kalimat dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Sugono, Dendy. 1989. Berbahasa Indonesia Dengan Benar. Jakarta: Priastu.

Metode penelitian kualitatif dan kuantitatif

Metode kuantitatif dan kualitatif berkembang terutama dari akar filosofis dan teori sosial abad ke-20. Kedua metode penelitian di atas mempunyai paradigm teoritik, gaya, dan asumsi paradigmatik penelitian yang berbeda. Masing-masing memuat kekuataan dan keterbatasan, mempunyai topik dan isu penelitian sendiri, serta menggunakan cara pandang berbeda untuk melihat realitas sosial.
Penelitian pada hakikatnya adalah berusaha mendapatkan informasi tentang sistem yang ada (dan beroperasi) pada obyek yang sedang diteliti, maka peneliti perlu menentukan cara menemukan informasi tentang sistem yang sedang dicari itu. Cara menemukan informasi itulah yang bervariasi baik dengan menggunakan metode kuantitatif, kualitatif maupun menggabungkan dari kedua metode tersebut. Perbedaan yang berawal dari paradigma pengetahuan yang berbeda itu nampak pada praktek kegiatan penelitiannya, yaitu dalam penentuan tujuan (masalah), penentuan macam data yang dicari, penentuan sumber data, penentuan instrumen pengumpul data, kegiatan pengumpulan dan analisis data.
A. PENELITIAN KUANTITATIF
Metode kuantitatif berakar pada paradigma tradisional, positivistik, eksperimental atau empiricist. Metode ini berkembang dari tradisi pemikiran empiris Comte, Mill, Durkeim, Newton dan John Locke. “Gaya” penelitian kuantitatif biasanya mengukur fakta objektif melalui konsep yang diturunkan pada variabel-variabel dan dijabarkan pada indikator-indikator dengan memperhatikan aspek reliabilitas. Penelitian kuantitatif bersifat bebas nilai dan konteks, mempunyai banyak “kasus” dan subjek yang diteliti, sehingga dapat ditampilkan dalam bentuk data statistik yang berarti. Hal penting untuk dicatat di sini adalah, peneliti “terpisah” dari subjek yang ditelitinya.
Pada hakikatnya setiap penelitian kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial menerapkan filosofi yang disebut deducto hipothetico verifikatif artinya, masalah penelitian dipecahkan dengan bantuan cara berpikir deduktif melalui pengajuan hipotesis yang dideduksi dari teori-teori yang bersifat universal dan umum, sehingga kesimpulan dalam bentuk hipotesis inilah yang akan diverifikasi secara empiris melalui cara berpikir induktif dengan bantuan statistika inferensial.
Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya.
Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas. Hasil analisis kuantitatif cenderung membuktikan maupun memperkuat teori-teori yang sudah ada.
Ciri-ciri penelitian kuantitatif:
1. Asumsi
Asumsi ontologis: realitas bersifat objektif dan singular terpisah dari peneliti; peneliti independen dari yang diteliti (asumsi epistemologis), bebas nilai dan menghindarkan bias (asumsi aksiologis); formal, berdasar definisi, impersonal dan menggunakan bahasa kuantitatif (asumsi retoris); proses deduktif, sebab akibat, desain statis kategori membatasi sebelum studi, bebas konteks, generalisasi mengarah pada prediksi, eksplanasi dan pemahaman, akurasi dan reliabilitas melalui validitas dan reliabilitas (asumsi metodologis).
Penelitian kuantitatif memiliki ciri khas berhubungan dengan data numerik dan bersifat obyektif. Fakta atau fenomena yang diamati memiliki realitas obyektif yang bisa diukur. Variabel-variabel penelitian dapat diidentifikasi dan interkorelasi variabel dapat diukur. Peneliti kuantitatif menggunakan sisi pandangannya untuk mempelajari subyek yang ia teliti (etik). Keunggulan penelitian kuantitatif terletak pada metodologi yang digunakan.
2. Tujuan penelitian
Penelitian kuantitatif memiliki tujuan menjeneralisasi temuan penelitian sehingga dapat digunakan untuk memprediksi situasi yang sama pada populasi lain. Penelitian kuantitatif juga digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antar variabel yang diteliti, menguji teori, mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif.
3. Pendekatan
Penelitian kuantitatif dimulai dengan teori dan hipotesis. Peneliti Peneliti menggunakan teknik manipulasi dan mengkontrol variabel melalui instrumen formal untuk melihat interaksi kausalitas. Peneliti mencoba mereduksi data menjadi susunan numerik selanjutnya ia melakukan analisis terhadap komponen penelitian (variabel). Penarikan kesimpulan secara deduksi dan menetapkan norma secara konsensus. Bahasa penelitian dikemas dalam bentuk laporan.
4. Peran peneliti
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti secara ideal berlaku sebagai observer subyek penelitian yang tidak terpengaruh dan memihak (obyektif).
5. Pendekatan kuantitatif lebih menitikberatkan pada frekwensi tinggi
6. Kebenaran dari hasil analisis penelitian kuantitatif bersifat nomothetik dan dapat digeneralisasi.
7. Penelitian kuantitatif menggunakan paradgma positivistik-ilmiah. Segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara obyektif yang mengarah kepada kepastian dan kecermatan (Sunarto, 1993: 3). Karena itu, paradigma ilmiah-positivisme melahirkan berbagai bentuk percobaan, perlakuan, pengukuran dan uji-uji statistik.
8. Penelitian kuantitatif sering bertolak dari teori, sehingga bersifat reduksionis dan verifikatif, yakni hanya membuktikan teori (menerima atau menolak teori).
9. Penelitian kuantitatif khususnya eksperimen, dapat menggambarkan sebab-akibat. Peneliti seringkali tertarik untuk mengetahui: apakah X mengakibatkan Y? atau, sejauh mana X mengakibatkanY? Jika peneliti hanya tertarik untuk mengetahui pengaruh X terhadap Y, penelitian eksperimen akan mengendalikan atau mengontrol berbagai variabel (X1, X2, X3 dan seterusnya) yang diduga akan berpengaruh terhadap Y. Kontrol dilakukan sedemikian rupa bukan hanya melalui teknikteknik penelitian melainkan juga melalui analisis statistik.
10. Mengenai waktu pengumpulan dan analisis data sudah dapat dipastikan. Peneliti dapat menentukan berbagai aturan yang terkait dengan pengumpulan data; jumlah tenaga yang diperlukan; berapa lama pengumpulan data akan dilakukan; dan jenis data yang akan dikumpulkan sesuai hipotesis yang dirumuskan. Hal ini sejalan dengan instrumen yang sudah baku dan sudah dipersiapkan. Demikian halnya model analisis data, uji-uji statistik, dan penyajian data – termasuk tabel-tabel yang akan dipergunakan — sudah dapat ditentukan.
B. PENELITIAN KUALITATIF
1. Definisi
Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif http://www.Wikipedia.com. Menurut Strauss dan Corbin yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain. Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.
Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yng menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasil kan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan (Hadjar, 1996 dalam Basrowi dan Sukidin, 2002: 2)
2. Model – model Kualitatif
Model-model kualitatif dapat dikelompokkan menjadi 4 model:
a. Grounded research – Glaser & Strauss
Grounded research banyak memberi sumbangan operasional kualitatif, terutama dalam mencari dan merumuskan teori berdasarkan data empiric. Glaser & Strauss member peluang pengembangan teori substantive menjadi teori formal.
b. Etnometodologi – Bodgan
Etnometodologi lebih banyak sumbangannya terhadapmetode kualitatif, tetapi banyak hal masih terpaku pada metode kuantitatif, antara lain dengan validasi, reliabilitas.
c. Paradigma naturalistic – Guba & Lincoin
Paradigma naturalistic dapat dibandingkan dengan latar alami dalam kualitatif. Model ini digunakan dengan model Grounded research dan Etnometodologi menjadi cirri kualitatif yang paling konsekuen adalah model ini.
d. Interaksi simbolik –Blumer
Model interaksi simbolik menjurus ke kuantitatif-statistik-positivistik. Pendekatan positivistic yang dikritik oleh pendekatan rasionalisme karena tidak adanya grand-theory (yang dihasilkan hanya tesis-tesis spesifik yang tidak direkonstruksi).
3. Karakteristik penelitian kualitatif
Guba (1985: 39 – 44) mengetengahkan empat belas karakteristik penelitian naturalistik, yaitu :
a. Konteks natural (alami), yaitu suatu konteks keutuhan (entity) yang tak akan dipahami dengan membuat isolasi atau eliminasi sehingga terlepas dari konteksnya.
b. Manusia sebagai instrumen. Hal ini dilakukan karena hanya manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan berbagai ragam realitas dan menangkap makna, sedangkan instrumen lain seperti tes dan angket tidak akan mampu melakukannya.
c. Pemanfaatan pengetahuan tak terkatakan. Sifat naturalistic memungkinkan mengungkap hal-hal yang tak terkatakan. Sifat naturalistic memungkinkan mengungkap hal-hal yang tak terkatakan yang dapat memperkaya hal-hal yang diekspresikan oleh responden.
d. Metoda kualitatif. Sifat naturalistik lebih memilih metode kualitatif dari pada kuantitatif karena lebih mampu mengungkap realistas ganda, lebih sensitif dan adaptif terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
e. Pengambilan sample secara purposive.
f. Analisis data secara induktif, karena dengan cara tersebut konteksnya akan lebih mudah dideskripsikan. Analisis data induktif menurut paradigma kualitatif adalah analisis data spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dan dilanjutkan dengan kategorisasi.
g. Grounded theory. Sifat naturalistik lebih mengarahkan penyusunan teori diangkat dari empiri, bukan dibangun secara apriori. Generalisasi apriorik nampak bagus sebagai ilmu nomothetik, tetapi lemah untuk dapat sesuai dengan konteks idiographik.
h. Desain bersifat sementara. Penelitian kualitatif naturalistic menyusun desain secara terus menerus disesuaikan dengan realita di lapangan tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat. Hal ini terjadi karena realita di lapangan tidak dapat diramalkan sepenuhnya.
i. Hasil dirundingkan dan disepakati bersama antara peneliti dengan responden. Hal ini dilakukan untuk menghindari salah tafsir atas data yang diperoleh karena responden lebih memahami konteksnya daripada peneliti.
j. Lebih menyukai modus laporan studi kasus, karena dengan demikian deskripsi realitas ganda yang tampil dari interaksi peneliti dengan responden dapat terhindar dari bias. Laporan semacam itu dapat menjadi landasan transferabilitas pada kasus lain.
k. Penafsiran bersifat idiographik (dalam arti keberlakuan khusus), bukan ke nomothetik (dalam arti mencari hukum keberlakuan umum), karena penafsiran yang berbeda nampaknya lebih member makna untuk realitas yang berbeda konteksnya.
l. Aplikasi tentatif, karena realitas itu ganda dan berbeda Ikatan konteks terfokus. Dengan pengambilan fokus, ikatan keseluruhan tidak dihilangkan, tetap terjaga keberadaannya dalam konteks, tidak dilepaskan dari nilai lokalnya.
n. Kriteria keterpercayaan. Dalam penelitian kuantitatif keterpercayaan ditandai dengan adanya validitas dan reliabilitas.
Menurut Kirk dam Miller ciri-ciri Penelitian Kualitatif adalah sbb:
Ciri- ciri pokok Penelitian Kualitatif
Naturalistic Inquiry Mempelajari situasi dunia nyata secara alamiah, tidak melakukan manipulasi,; terbuka pada apapun yang timbul.
Inductive analysis Mendalami rincian dan kekhasan data guna menemukan kategori, dimensi, dan kesaling hubungan.
Holistic perspective Seluruh gejala yang dipelajari dipahami sebagai sistem yang kompleks lebih dari sekedar penjumlahan
Qualitative data Deskriptif terinci, kajian dilakukan secara mendalam
Personal contact dan insight Peneliti memounyai hubungan langsung dan bergaul erat dengan orang-orang dan situasi, gejala yang sedang dipelajari
Dynamic system Memperhatikan proses; menganggap perubahan bersifat konstan dan terus berlangsung baik secara individu maupun budaya secara keseluruhan
Unique case orientation Menganggap setaip kasus bersifat khusus dan khas
Context sensitivity Menempatkan temuan dalam dalam konteks sosial, historis dan waktu
Emphatic netrality Penelitian dilakukan secara netral agar objektif tapi bersifat empati
Design flexibility Design penelitiannya bersifat fleksibel, terbuka, beradaptasi sesuai perubahan yang terjadi (tidak bersifat kaku.
(sumber: Patton, 1990: 40-41).
Setelah mensintesiskan pendapat Bogdan & Biklen dengan pendapat Lincoln & Guba, Moleong mengemukakan sebelas karakteristik penelitian kualitatif yaitu :
a. Latar alamiah (penelitian dilakukan pada situasi alamiah dalam suatu keutuhan)
b. Manusia sebagai alat (Manusia/peneliti merupakan alat pengumpulan data yang utama)
c. Metode kualitatif (metode yang digunakan adalah metode kualitatif)
d. Anslisa data secara induktif (mengacu pada temuan lapangan)
e. Teori dari dasar/grounded theory (menuju pada arah penyusunan teori berdasarkan data)
f. Deskriptif (data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka)
g. Lebih mementingkan proses daripada hasil
h. Adanya batas yang ditentukan oleh fokus (perlunya batas penelitian atas dasar fokus yang timbul sebagai masalajh dalam penelitian)
i. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data (punya versi lain tentang validitas, reliabilitas dan obyektivitas)
j. Desain yang bersifat sementara (desain penelitian terus berkembang sesuai dengan kenyataan lapangan)
k. Hasil penelitiaan dirundingkan dan disepakati bersama (hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama antar peneliti dengan sumber data)
Dengan memperhatikan karakteristik penelitian kualitatif yang dikemukakan para ahli sebagaimana dikemukakan di atas, nampaknya lebih bersifat saling melengkapi dan menambah, karakteristik yang dikemukakan oleh Patton lebih bersipat umum yang merupakan ciri-ciri dasar, rumusan Moleong sudah menambahkan hal-hal yang bersifat operasional penelitian. Dengan beberapa variasi tersebut maka akan lebih menambah pemahaman mengenai metode penelitian kualitatif.
Menurut Sugiyono, metode kuantitatif dan metode kualitatif dapat digunakan bersama-sama atau digabungkan tetapi dengan catatan:
1. Untuk meneliti pada objek yang sama, tetapi tujuan yang berbeda. Metode kualitatif dapat digunakan untuk menemukaan hipotesis, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk menguji hipotesis.
2. Digunakan secara bergantian. Pada tahap pertama menggunakan metode kualitatif sehingga ditemukan hipotesis. Selanjutnya, hipotesis tersebut diuji dengan metode kuantitatif.
3. Metode penelitian tidak dapat digabungkan Karena paradigmanya berbeda. Tetapi dalam penelitian kuantitatif dapat menggabungkan penggunaan teknik pengumpulkan data (bukan metodenya), seperti penggunaan triangulasi dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif misalnya, teknik pengumpulan data yang dperoleh adalah data kuantitatif. Selanjutnya untuk memperkuat dan mengecek validitas data kuesioner tersebut, maka dapat dilengkapi dengan observasi atau wawancara kepada responden yang telah memberikan angket tersebut atau orang lain yang memahami masalah yang diteliti. Bila data antara kuesioner dan wawancara tidak sama, maka dilacak terus sampai ditemukan kebenaran data tersebut. Bila sudah demikian maka proses pengumpulan data seperti trianggulasi dalam penelitian kualitatif.
4. Dapat menggunakan metode tersebut secara bersamaan, asal kedua metode tersebut telah difahami dengan jelas dan seseorang telah berpengalaman luas dalam melakukan penelitian.
PENUTUP
Dengan adanya perbedaan dari metode penelitain kuantitaif dan kualitatif maka peneliti akan dapat menentukan pendekatan mana yang akan digunakan, apakah pendekatan kuantitaif, kualitatif ataupun gabungan dari keduanya. Dalam penentuan metode penelitian yang akan digunakan tergantung pada tujuan penelitian yang akan dilakukan dan hasil yang diharapkan. Pendekatan metode kuantitatif dan kualitatif, keduanya benar dan ilmiah sesuai dengan paradigmanya masing-masing.
DAFTAR RUJUKAN
Musianto L.S, Perbedaan Pendekatan Kuantitatif dengan Pendekatan Kualitatif dalam Metode Penelitian, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 4, No. 2, September 2002: 123 -136
Somantri G.R, Memahami metode Kualitatif, Makara Sosial Humaniora, Volume 9, No.2 Desember 2005, 57-65
Sofyani I, Rangkuman hakekat penelitian kuantitaitf, kualitatif dan penelitian tindakan (action research) http://www.imansofyani.co.cc/Penelitian/penelitian1.pdf
Sugiyono, Metode penelitian bisnis
Strauss and Corbin, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Technique, Newbury Park, Sage Publication, 1990